MEMAHAMI
& MENGENDALIKAN EGO
Dr. N. Sutrisna
Widjaya, MPH
Ditulis dan dibagikan kembali oleh Dewa Ayu Eka P
Dharmatari,M.Psi.,Psikolog (Clinical Psychologist) sebagai bentuk penghormatan kepada Almarhum
Dr.Sutrisna Widjaya,MPH selaku Guru terbaik kehidupan yang telah menjadi
pembimbing selama ini.
Seorang teman
suatu hari bertanya—lebih tepat bergumam—di hadapan saya, “Pak Trisna,
kira-kira kenapa, ya, sameton Bali kok suka terlibat konflik
internal di antara sesama, padahal kita punya prinsip paras-paros, sagilik
saguluk, salunglung sabayantaka? Kita juga punya prinsip trihita karana,
keselarasan antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dengan
lingkungannya, dan antara manusia dengan Sang Pencipta. Kadang terjadi saling
bunuh di antara keluarga besar (extended family), padahal mereka konon magetih
abungbung?”
Saya pun dengan
lugu menjawab gamang, “Iya, ya, kenapa ya?” Keluguan dan kegamangan
ini mencuat setelah sadar bahwa pertanyaan teman tadi memang benar adanya bila
teringat pada banyaknya kasus konflik dari tingkat paling bawah di
keluarga-keluarga, juga di tingkat desa pakraman, sampai ke tingkat
institusi PHDI yang sempat mengukir catatan buram dualisme beberapa tahun lalu.
Pertanyaan
“kenapa” atau “mengapa” teman tadi mengandung kekuatan tersembunyi. Dengan
pertanyaan mengapa, akan terjadi inisiasi proses analisa untuk membangun suatu
pemahaman. Dengan pemahaman, segala sesuatu menjadi lebih mudah dikendalikan,
sementara hal-hal yang tidak dipahami cenderung mengendalikan diri kita, tanpa
disadari. Pertanyaan lebih lanjut yang jauh lebih penting: “bagaimana”
membangun kekerabatan yang selaras dengan prinsip paras paros, sagilik
saguluk, salunglung sabayantaka?
Dalam setiap
konflik, selalu ada permainan ego yang mengawali dan kemudian menjadi bumbu
penyedap dalam proses konflik hingga berkepanjangan. Yang pasti, semua
permainan ini dikendalikan oleh pikiran-pikiran bawah sadar sebagai tempat
bermukim pikiran ego, karena pikiran sadar tidak mungkin memilih konflik. Imprint
ego terbentuk sejak masa kanak-kanak, ketika kita bermain bersama teman, dengan
tema “punya-ku lebih baik, atau boneka-ku lebih cantik”. Sewaktu kecil
semua orang sering terlibat dalam permainan ego yang akhirnya menjadi rekaman
spesifik bersifat permanen—dalam wacana mind-setting atau menata ulang
memori pikiran ini disebut imprint. Proses terbentuknya ego kurang lebih
tertuang dalam kisah sebagai berikut.
Ayu, seorang
anak perempuan usia enam tahun, mendapat hadiah boneka dari ibunya. Betapa
senang Ayu, karena boneka itu memang menjadi idamannya sejak lama. Secara
kebetulan Ari, tetangga sebaya Ayu, juga mendapat hadiah boneka dari ibunya.
Ayu dan Ari bermain bersama, masing-masing menggadang-gadang miliknya sebagai
boneka yang lebih cantik.
Permainan ini
menjadi semakin seru, Ayu bilang, boneka dia jauh lebih cantik dibandingkan
punya Ari. Tidak mau kalah, Ari pun balik menyergah, boneka dialah yang jauh
lebih cantik. Keceriaan dalam bermain bersama berubah menjadi debat semakin
panas, pertengkaran berkepanjangan.
Pada anak
laki-laki, pertengkaran semacam ini juga sering terjadi, bermula dari
ejek-mengejek disertai permainan ego menjagokan milik masing-masing, entah
posisi dan jabatan bapaknya, entah status sosial-ekonomi bapaknya, dan lain
sebagainya. Jadi, sejak kanak-kanak semua orang, termasuk Anda dan saya, telah
memiliki rekaman spesifik bernama “punya-ku lebih baik atau boneka-ku
lebih cantik”.
Kisahnya masih
berlanjut. Sepuluh tahun kemudian, Ayu dan Ari tumbuh menjadi gadis belia nan
ceria. Suatu hari, di Hari Raya Galungan dan Kuningan, mereka mendapat tugas
sebagai penjaga bar yang diselenggarakan Sekaa Taruna Taruni setempat. Menjadi
kebiasaan di desa mereka, kalau bertugas sebagai penjaga bar harus tampil
menarik, lengkap dengan kain dan kebaya baru. Ayu, dari keluarga tidak mampu,
mencoba pendekatan kepada ibunya, ”Ibu, mau ada bar di bale banjar,
bolehkah saya dapat kain dan kebaya baru?” Mudah ditebak, jawaban ibunya pasti
mirip dengan pil pahit. Namun, dengan seribu satu bujuk rayu akhirnya Ayu
berhasil juga memperoleh sejumlah uang untuk membeli minimal kebaya baru.
Sebaliknya, Ari dengan mudah memperoleh uang dari ayahnya dalam jumlah cukup
buat mendapatkan kain dan kebaya bagus. Kebetulan Ari lahir dalam keluarga
berekonomi mampu.
Tiba di bar bale
banjar pada hari pertama pembukaan, Ayu dan Ari saling bertegur sapa dan
berbagi ceritera-cerita ringan, karena mereka memang berteman baik satu sama
lain. Kain dan kebaya Ari menjadi sorotan kagum kawan-kawannya. Selang beberapa
waktu, tiba-tiba timbul perasaan tidak enak pada diri Ayu. Ada apa gerangan?
Rupanya, kain dan kebaya indah yang dikenakan Ari telah berfungsi sebagai
pemicu (trigger) imprint di benak Ayu, sehingga berputarlah
kembali rekaman lama, "Punya-ku lebih baik, boneka-ku lebih
cantik".
Rekaman itu
berputar berulang-ulang di luar kesadaran diri Ayu, namun bertentangan dengan
kenyataan bahwa kain dan kebaya Ayu sangat sederhana dibanding punya Ari. Rasa
tidak enak ini, lagi-lagi tanpa disadari, kemudian berkembang menjadi perasaan
iri-hati, bahkan lebih jauh bisa berkembang menjadi rasa dengki—disebut
dengan istilah matsarya, salah satu sadripu
(enam kegelapan pikiran), sebagai musuh utama yang ada dalam diri manusia.
Oleh karena
setiap orang—termasuk Anda dan saya—punya rekaman, "Punya-ku lebih
baik, dan boneka-ku lebih cantik" maka pada dasarnya setiap orang
mempunyai bibit perasaan iri-hati dan perasaan dengki. Cobalah mengingat
kembali berbagai peristiwa di masa lalu, ketika teman-teman yang rasanya
kualitas, kecerdasan, dan kinerjanya jauh di bawah Anda tetapi mereka lebih
dulu naik pangkat atau jabatan, mendapat berbagai berkah dalam kehidupan.
Reaksi perasaan apakah yang mungkin bergejolak di hati Anda? Apakah Anda akan
berbisik pelan, “Sahabat, aku turut bergembira dan berbahagia atas
keberhasilanmu”? Bisa jadi—karena inilah ideal yang dianjurkan, yang kemudian
kita gunakan sebagai pemanis di bibir. Ataukah timbul perasaan tidak enak?
Lebih mungkin, karena inilah reaksi yang lebih jujur dan bersifat manusiawi.
Permainan Ego
ini terjadi di mana-mana: dalam keluarga, di kantor-kantor, di tetangga, di
banjar, di dunia politik, di institusi DPR, dan lain sebagainya. Ini terjadi
pada konflik berebut jabatan, pada konflik berebut fasilitas, pada konflik
berebut lahan bisnis, konflik berebut harta warisan, konflik berebut pengaruh,
konflik antardesa, bahkan sampai konflik bernuansa SARA. Semua dilandasi
tuntutan ego dan dorongan untuk memutar kembali lagu lama, “Punya-ku lebih
baik, boneka-ku lebih cantik”. Sungguh menyedihkan dan memprihatinkan.
Kecenderungan
permainan ego semacam ini masih diperparah oleh persaingan yang berjalan
semakin ketat. Di sekolah-sekolah anak-anak berlomba atau dipaksa secara tanpa
sadar untuk meraih ranking tertinggi, agar batinnya, atau batin orang-tuanya
dan kakek neneknya, menjadi tenteram ketika dapat melantunkan lagu, “Punya-ku
lebih baik, bahkan yang terbaik.” Ada banyak orang-tua yang tidak merasa
tenteram sebelum anak-anaknya berhasil diterima di sekolah-sekolah favorit,
kelas-kelas percepatan, dan lain sebagainya. Anak-anak kecil yang mestinya
tumbuh dalam kehidupan bermain, dijejali dengan berbagai macam les, termasuk
les bahasa Inggris. Inilah barangkali bias tuntutan kewajiban
orangtua untuk membentuk anak-anak suputra, yang hampir pasti, tanpa
mereka sadari.
Di dunia bisnis
juga terjadi persaingan, bahkan lebih keras dengan berlangsungnya perang tarif,
perang bonus, dan lain sebagainya yang ujung-ujungnya merugikan semua pihak.
Rupa-rupanya, dunia sedang terperangkap dalam lomba lari massal di mana-mana,
tanpa henti. Setiap orang merasa perlu ikut berlari, karena mereka tidak mau
ketinggalan dalam persaingan menjalani kehidupan.
Kabar buruknya:
mereka semata-mata terperangkap dalam sebuah fenomena kehidupan serba berlari.
“Hai, rupanya Anda juga ada dalam kerumunan lomba berlari, mengapa Anda mesti
ikut?”
“Karena aku
tidak mau ketinggalan, kalau aku tidak ikut berlari.”
“Ya, masuk
akal, tapi ke mana tujuan Anda berlari?”
Sungguh memprihatinkan
ketika mereka menjawab lugu, “Ya, ke mana, ya?”
Bagaimana
dengan dunia olah raga yang menjadi ajang menumbuhkan sportivitas? Ukuran kalah
menang yang obsesif, sedikit banyak memberi andil sebagai penghalang win-win
approach. Kita banyak melihat tawuran antarpemain atau pengeroyokan seorang
wasit pertandingan sepak bola, ketika ada pihak yang merasa tidak puas dan
memilih kekerasan sebagai cara mengatasi permasalahan, ketika ego benar-benar
sudah tidak terkendali. Jadi, pikiran ego itu penyebab utama timbulnya
konflik.
Dengan uraian
tadi sedikit banyak kita paham bagaimana benih rekaman ego di dalam pikiran
bawah sadar terbentuk. Ego berlebihan pada diri orang lain dapat membuat
perasaan kita menjadi kesal, bahkan membangunkan amarah yang ada dalam arsip
rekaman bawah sadar. Ego pada diri sendiri, yang umumnya bekerja tanpa
disadari, dapat mendorong seseorang menjadi arogan. Tantangannya adalah
bagaimana membangun tata pikir baru, yang bisa mengubah perasaan kesal dan
amarah menjadi welas asih, yang bisa mengubah arogansi menjadi perasaan malu,
akan kita bahas dalam kesempatan berikutnya.
Lembaga
Pengembangan Citra Diri, Jalan Suli
No. 56 Denpasar 80233
Tidak ada komentar:
Posting Komentar