Selasa, 16 Mei 2017

MEMAMAHI & MENGENDALIKAN EGO



MEMAHAMI & MENGENDALIKAN EGO

Dr. N. Sutrisna Widjaya, MPH


Ditulis dan dibagikan kembali oleh Dewa Ayu Eka P Dharmatari,M.Psi.,Psikolog (Clinical Psychologist)  sebagai bentuk penghormatan kepada Almarhum Dr.Sutrisna Widjaya,MPH selaku Guru terbaik kehidupan yang telah menjadi pembimbing selama ini.



Seorang teman suatu hari bertanya—lebih tepat bergumam—di hadapan saya, “Pak Trisna, kira-kira kenapa, ya, sameton Bali kok suka terlibat konflik internal di antara sesama, padahal kita punya prinsip paras-paros, sagilik saguluk, salunglung sabayantaka? Kita juga punya prinsip trihita karana, keselarasan antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dengan lingkungannya, dan antara manusia dengan Sang Pencipta. Kadang terjadi saling bunuh di antara keluarga besar (extended family), padahal mereka konon magetih abungbung?”
Saya pun dengan lugu menjawab gamang, “Iya, ya, kenapa ya?” Keluguan dan kegamangan ini mencuat setelah sadar bahwa pertanyaan teman tadi memang benar adanya bila teringat pada banyaknya kasus konflik dari tingkat paling bawah di keluarga-keluarga, juga di tingkat desa pakraman, sampai ke tingkat institusi PHDI yang sempat mengukir catatan buram dualisme beberapa tahun lalu.
Pertanyaan “kenapa” atau “mengapa” teman tadi mengandung kekuatan tersembunyi. Dengan pertanyaan mengapa, akan terjadi inisiasi proses analisa untuk membangun suatu pemahaman. Dengan pemahaman, segala sesuatu menjadi lebih mudah dikendalikan, sementara hal-hal yang tidak dipahami cenderung mengendalikan diri kita, tanpa disadari. Pertanyaan lebih lanjut yang jauh lebih penting: “bagaimana” membangun kekerabatan yang selaras dengan prinsip paras paros, sagilik saguluk, salunglung sabayantaka?
Dalam setiap konflik, selalu ada permainan ego yang mengawali dan kemudian menjadi bumbu penyedap dalam proses konflik hingga berkepanjangan. Yang pasti, semua permainan ini dikendalikan oleh pikiran-pikiran bawah sadar sebagai tempat bermukim pikiran ego, karena pikiran sadar tidak mungkin memilih konflik. Imprint ego terbentuk sejak masa kanak-kanak, ketika kita bermain bersama teman, dengan tema “punya-ku lebih baik, atau boneka-ku lebih cantik”. Sewaktu kecil semua orang sering terlibat dalam permainan ego yang akhirnya menjadi rekaman spesifik bersifat permanen—dalam wacana mind-setting atau menata ulang memori pikiran ini disebut imprint. Proses terbentuknya ego kurang lebih tertuang dalam kisah sebagai berikut.

Ayu, seorang anak perempuan usia enam tahun, mendapat hadiah boneka dari ibunya. Betapa senang Ayu, karena boneka itu memang menjadi idamannya sejak lama. Secara kebetulan Ari, tetangga sebaya Ayu, juga mendapat hadiah boneka dari ibunya. Ayu dan Ari bermain bersama, masing-masing menggadang-gadang miliknya sebagai boneka yang lebih cantik.
Permainan ini menjadi semakin seru, Ayu bilang, boneka dia jauh lebih cantik dibandingkan punya Ari. Tidak mau kalah, Ari pun balik menyergah, boneka dialah yang jauh lebih cantik. Keceriaan dalam bermain bersama berubah menjadi debat semakin panas, pertengkaran berkepanjangan.
Pada anak laki-laki, pertengkaran semacam ini juga sering terjadi, bermula dari ejek-mengejek disertai permainan ego menjagokan milik masing-masing, entah posisi dan jabatan bapaknya, entah status sosial-ekonomi bapaknya, dan lain sebagainya. Jadi, sejak kanak-kanak semua orang, termasuk Anda dan saya, telah memiliki rekaman spesifik bernama “punya-ku lebih baik atau boneka-ku lebih cantik”.
Kisahnya masih berlanjut. Sepuluh tahun kemudian, Ayu dan Ari tumbuh menjadi gadis belia nan ceria. Suatu hari, di Hari Raya Galungan dan Kuningan, mereka mendapat tugas sebagai penjaga bar yang diselenggarakan Sekaa Taruna Taruni setempat. Menjadi kebiasaan di desa mereka, kalau bertugas sebagai penjaga bar harus tampil menarik, lengkap dengan kain dan kebaya baru. Ayu, dari keluarga tidak mampu, mencoba pendekatan kepada ibunya, ”Ibu, mau ada bar di bale banjar, bolehkah saya dapat kain dan kebaya baru?” Mudah ditebak, jawaban ibunya pasti mirip dengan pil pahit. Namun, dengan seribu satu bujuk rayu akhirnya Ayu berhasil juga memperoleh sejumlah uang untuk membeli minimal kebaya baru.  Sebaliknya, Ari dengan mudah memperoleh uang dari ayahnya dalam jumlah cukup buat mendapatkan kain dan kebaya bagus. Kebetulan Ari lahir dalam keluarga berekonomi mampu.
Tiba di bar bale banjar pada hari pertama pembukaan, Ayu dan Ari saling bertegur sapa dan berbagi ceritera-cerita ringan, karena mereka memang berteman baik satu sama lain. Kain dan kebaya Ari menjadi sorotan kagum kawan-kawannya. Selang beberapa waktu, tiba-tiba timbul perasaan tidak enak pada diri Ayu. Ada apa gerangan? Rupanya, kain dan kebaya indah yang dikenakan Ari telah berfungsi sebagai pemicu (trigger) imprint di benak Ayu, sehingga berputarlah kembali rekaman lama, "Punya-ku lebih baik, boneka-ku lebih cantik".
Rekaman itu berputar berulang-ulang di luar kesadaran diri Ayu, namun bertentangan dengan kenyataan bahwa kain dan kebaya Ayu sangat sederhana dibanding punya Ari. Rasa tidak enak ini, lagi-lagi tanpa disadari, kemudian berkembang menjadi perasaan iri-hati, bahkan lebih jauh bisa berkembang menjadi rasa dengki—disebut dengan istilah matsarya, salah satu sadripu (enam kegelapan pikiran), sebagai musuh utama yang ada dalam diri manusia.
Oleh karena setiap orang—termasuk Anda dan saya—punya rekaman, "Punya-ku lebih baik, dan boneka-ku lebih cantik" maka pada dasarnya setiap orang mempunyai bibit perasaan iri-hati dan perasaan dengki. Cobalah mengingat kembali berbagai peristiwa di masa lalu, ketika teman-teman yang rasanya kualitas, kecerdasan, dan kinerjanya jauh di bawah Anda tetapi mereka lebih dulu naik pangkat atau jabatan, mendapat berbagai berkah dalam kehidupan. Reaksi perasaan apakah yang mungkin bergejolak di hati Anda? Apakah Anda akan berbisik pelan, “Sahabat, aku turut bergembira dan berbahagia atas keberhasilanmu”? Bisa jadi—karena inilah ideal yang dianjurkan, yang kemudian kita gunakan sebagai pemanis di bibir. Ataukah timbul perasaan tidak enak? Lebih mungkin, karena inilah reaksi yang lebih jujur dan bersifat manusiawi.
Permainan Ego ini terjadi di mana-mana: dalam keluarga, di kantor-kantor, di tetangga, di banjar, di dunia politik, di institusi DPR, dan lain sebagainya. Ini terjadi pada konflik berebut jabatan, pada konflik berebut fasilitas, pada konflik berebut lahan bisnis, konflik berebut harta warisan, konflik berebut pengaruh, konflik antardesa, bahkan sampai konflik bernuansa SARA. Semua dilandasi tuntutan ego dan dorongan untuk memutar kembali lagu lama, “Punya-ku lebih baik, boneka-ku lebih cantik”. Sungguh menyedihkan dan memprihatinkan.
Kecenderungan permainan ego semacam ini masih diperparah oleh persaingan yang berjalan semakin ketat. Di sekolah-sekolah anak-anak berlomba atau dipaksa secara tanpa sadar untuk meraih ranking tertinggi, agar batinnya, atau batin orang-tuanya dan kakek neneknya, menjadi tenteram ketika dapat melantunkan lagu, “Punya-ku lebih baik, bahkan yang terbaik.” Ada banyak orang-tua yang tidak merasa tenteram sebelum anak-anaknya berhasil diterima di sekolah-sekolah favorit, kelas-kelas percepatan, dan lain sebagainya. Anak-anak kecil yang mestinya tumbuh dalam kehidupan bermain, dijejali dengan berbagai macam les, termasuk les bahasa Inggris.  Inilah barangkali bias tuntutan kewajiban orangtua untuk membentuk anak-anak suputra, yang hampir pasti, tanpa mereka sadari.
Di dunia bisnis juga terjadi persaingan, bahkan lebih keras dengan berlangsungnya perang tarif, perang bonus, dan lain sebagainya yang ujung-ujungnya merugikan semua pihak. Rupa-rupanya, dunia sedang terperangkap dalam lomba lari massal di mana-mana, tanpa henti. Setiap orang merasa perlu ikut berlari, karena mereka tidak mau ketinggalan dalam persaingan menjalani kehidupan.
Kabar buruknya: mereka semata-mata terperangkap dalam sebuah fenomena kehidupan serba berlari. “Hai, rupanya Anda juga ada dalam kerumunan lomba berlari, mengapa Anda mesti ikut?”
“Karena aku tidak mau ketinggalan, kalau aku tidak ikut berlari.”
“Ya, masuk akal, tapi ke mana tujuan Anda berlari?”
Sungguh memprihatinkan ketika mereka menjawab lugu, “Ya, ke mana, ya?”
Bagaimana dengan dunia olah raga yang menjadi ajang menumbuhkan sportivitas? Ukuran kalah menang yang obsesif, sedikit banyak memberi andil sebagai penghalang win-win approach. Kita banyak melihat tawuran antarpemain atau pengeroyokan seorang wasit pertandingan sepak bola, ketika ada pihak yang merasa tidak puas dan memilih kekerasan sebagai cara mengatasi permasalahan, ketika ego benar-benar sudah tidak terkendali.  Jadi, pikiran ego itu penyebab utama timbulnya konflik.
Dengan uraian tadi sedikit banyak kita paham bagaimana benih rekaman ego di dalam pikiran bawah sadar terbentuk. Ego berlebihan pada diri orang lain dapat membuat perasaan kita menjadi kesal, bahkan membangunkan amarah yang ada dalam arsip rekaman bawah sadar. Ego pada diri sendiri, yang umumnya bekerja tanpa disadari, dapat mendorong seseorang menjadi arogan. Tantangannya adalah bagaimana membangun tata pikir baru, yang bisa mengubah perasaan kesal dan amarah menjadi welas asih, yang bisa mengubah arogansi menjadi perasaan malu, akan kita bahas dalam kesempatan berikutnya.
Lembaga Pengembangan Citra Diri, Jalan Suli No. 56 Denpasar 80233

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGENDALIAN PIKIRAN ( MIND CONTROL )  Oleh ; Dr. N. Sutrisna Widjaya, MPH *) Sebagaimana meditasi pada umumnya, manfaat dari pene...