Berjalan di dalam gua...
Yup..ini hanyalah sebuah analogi yang mana hanya penulis yang mengerti makna di dalamnya. Berjalan di dalam sebuah gua ibaratkan kamu menjalani kehidupan ini, entah itu berproses terhadap satu peristiwa atau kejadian, ataukah menyelami dirimu yang sesungguhnya.
Berjalan di dalam gua..hmmm tentu membutuhkan banyak peralatan agar keselamatanmu dapat terjaga dengan baik sampai kamu mencapai tujuanmu.Kamu membutuhkan lebih banyak cahaya daripada sekedar feeling nurani.Cahaya hati..cahaya jiwa dan cahaya pikiranmu agar kamu bisa menempuh perjalanan dengan lebih mudah.
Berjalan di dalam gua..tentu kamu gak mungkin sendirian, minimal ada salah seorang teman atau guide yang kamu ajak ikut serta. Siapapun dia..itulah orang yang ternyata dipilih untuk menemani perjalananmu yang sementara ini.Yach..knapa sementara?karena kamu gak mungkin berjalan terus di dalam gua..kamu membutuhkan lebih banyak udara dan sinar matahari di luaran sana. Inget lho ini hanya sementara saja...
Berjalan di dalam gua..tentu ada banyak tantangan di dalamnya, kamu harus siap misalnya tiba2 kakimu akan terpeleset dan jatuh..ingatlah berpeganan tangan dengan teman yang kamu ajak bersamamu, karena ia yang akan membantumu untuk bangun.Berpegangan yang kuat agar kalian tidak sama-sama jatuh..karena saat kalian terjatuh kalian tak akan menemukan sejuknya udara di luaran sana.
Berjalan di dalam gua...pasti juga menyenangkan saat digelapan ada seberkas sinar matahari masuk melalui celah2 tebing gua yang keci.Seakan bergembira dan selalu mengucap syukur akan erbat sinar yang bisa kita nikmati.
Tapi ingatlah..selalu hati2..jangan terlalu lama merangkak di dalam..karena ada hari esok yang setia menanti dan kegiatan akan kembali berjalan seperti biasanya. INI HANYA SEMENTARA..maka nikmatilah dengan sukacita.
Selasa, 16 Mei 2017
AKU BERJANJI KEPADA DIRI-KU SENDIRI
AKU BERJANJI KEPADA DIRI-KU SENDIRI
- Untuk menjadi begitu kuat sampai tidak ada suatu apa pun yang dapat mengganggu ketenangan pikiran-ku.
- Untuk bicara tentang kesehatan, kebahagiaan, dan kemakmuran, kepada semua orang yang aku temui.
- Untuk membuat semua teman-ku merasa, ada sesuatu di dalam diri mereka.
- Untuk memandang sisi terang dari segala sesuatu dan membuat optimisme di dalam diriku menjadi kenyataan.
- Untuk hanya memikirkan yang terbaik, hanya bekerja untuk yang terbaik, dan hanya mengharapkan yang terbaik.
AKU BERJANJI KEPADA DIRI-KU SENDIRI
- Untuk bergembira atas sukses orang lain sama seperti aku merasa gembira atas sukses diriku sendiri.
- Untuk melupakan kesalahan-kesalahan masa lalu-ku dan bertekad secara gigih mencapai prestasi yang lebih besar di masa depan.
- Untuk setiap saat menapilkan wajah yang gembira dan memberikan senyum manis kepada setiap makhluk hidup yang aku temui. Untuk memberikan waktu secukupnyauntuk perbaikan diri-ku sendiri sampai aku tak punya waktu untuk mengkritik orang lain.
- Untuk menjadi terlalu besar untuk cemas, terlalu bermartabat untuk marah, terlalu kuat untuk takut, dan terlalu bahagia untuk merasakan kehadiran masalah.
- Untuk memikirkan hal-hal baik tentang diri sendiri dan menyatakan kepada dunia, bukan kata-kata lantang, tapi dengan suara tentang kebajikan besar.
AKU BERJANJI KEPADA DIRI-KU SENDIRI
- Untuk percaya bahwa seluruh dunia berpihak kepada-ku sejauh aku menampilkan yang terbaik dari yang ada di dalam diri-ku.
(kiriman sahabat)
(Status Putu Jelita Udayani, 5
Agustus 2012)
MEMAMAHI & MENGENDALIKAN EGO
MEMAHAMI
& MENGENDALIKAN EGO
Dr. N. Sutrisna
Widjaya, MPH
Ditulis dan dibagikan kembali oleh Dewa Ayu Eka P
Dharmatari,M.Psi.,Psikolog (Clinical Psychologist) sebagai bentuk penghormatan kepada Almarhum
Dr.Sutrisna Widjaya,MPH selaku Guru terbaik kehidupan yang telah menjadi
pembimbing selama ini.
Seorang teman
suatu hari bertanya—lebih tepat bergumam—di hadapan saya, “Pak Trisna,
kira-kira kenapa, ya, sameton Bali kok suka terlibat konflik
internal di antara sesama, padahal kita punya prinsip paras-paros, sagilik
saguluk, salunglung sabayantaka? Kita juga punya prinsip trihita karana,
keselarasan antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dengan
lingkungannya, dan antara manusia dengan Sang Pencipta. Kadang terjadi saling
bunuh di antara keluarga besar (extended family), padahal mereka konon magetih
abungbung?”
Saya pun dengan
lugu menjawab gamang, “Iya, ya, kenapa ya?” Keluguan dan kegamangan
ini mencuat setelah sadar bahwa pertanyaan teman tadi memang benar adanya bila
teringat pada banyaknya kasus konflik dari tingkat paling bawah di
keluarga-keluarga, juga di tingkat desa pakraman, sampai ke tingkat
institusi PHDI yang sempat mengukir catatan buram dualisme beberapa tahun lalu.
Pertanyaan
“kenapa” atau “mengapa” teman tadi mengandung kekuatan tersembunyi. Dengan
pertanyaan mengapa, akan terjadi inisiasi proses analisa untuk membangun suatu
pemahaman. Dengan pemahaman, segala sesuatu menjadi lebih mudah dikendalikan,
sementara hal-hal yang tidak dipahami cenderung mengendalikan diri kita, tanpa
disadari. Pertanyaan lebih lanjut yang jauh lebih penting: “bagaimana”
membangun kekerabatan yang selaras dengan prinsip paras paros, sagilik
saguluk, salunglung sabayantaka?
Dalam setiap
konflik, selalu ada permainan ego yang mengawali dan kemudian menjadi bumbu
penyedap dalam proses konflik hingga berkepanjangan. Yang pasti, semua
permainan ini dikendalikan oleh pikiran-pikiran bawah sadar sebagai tempat
bermukim pikiran ego, karena pikiran sadar tidak mungkin memilih konflik. Imprint
ego terbentuk sejak masa kanak-kanak, ketika kita bermain bersama teman, dengan
tema “punya-ku lebih baik, atau boneka-ku lebih cantik”. Sewaktu kecil
semua orang sering terlibat dalam permainan ego yang akhirnya menjadi rekaman
spesifik bersifat permanen—dalam wacana mind-setting atau menata ulang
memori pikiran ini disebut imprint. Proses terbentuknya ego kurang lebih
tertuang dalam kisah sebagai berikut.
Ayu, seorang
anak perempuan usia enam tahun, mendapat hadiah boneka dari ibunya. Betapa
senang Ayu, karena boneka itu memang menjadi idamannya sejak lama. Secara
kebetulan Ari, tetangga sebaya Ayu, juga mendapat hadiah boneka dari ibunya.
Ayu dan Ari bermain bersama, masing-masing menggadang-gadang miliknya sebagai
boneka yang lebih cantik.
Permainan ini
menjadi semakin seru, Ayu bilang, boneka dia jauh lebih cantik dibandingkan
punya Ari. Tidak mau kalah, Ari pun balik menyergah, boneka dialah yang jauh
lebih cantik. Keceriaan dalam bermain bersama berubah menjadi debat semakin
panas, pertengkaran berkepanjangan.
Pada anak
laki-laki, pertengkaran semacam ini juga sering terjadi, bermula dari
ejek-mengejek disertai permainan ego menjagokan milik masing-masing, entah
posisi dan jabatan bapaknya, entah status sosial-ekonomi bapaknya, dan lain
sebagainya. Jadi, sejak kanak-kanak semua orang, termasuk Anda dan saya, telah
memiliki rekaman spesifik bernama “punya-ku lebih baik atau boneka-ku
lebih cantik”.
Kisahnya masih
berlanjut. Sepuluh tahun kemudian, Ayu dan Ari tumbuh menjadi gadis belia nan
ceria. Suatu hari, di Hari Raya Galungan dan Kuningan, mereka mendapat tugas
sebagai penjaga bar yang diselenggarakan Sekaa Taruna Taruni setempat. Menjadi
kebiasaan di desa mereka, kalau bertugas sebagai penjaga bar harus tampil
menarik, lengkap dengan kain dan kebaya baru. Ayu, dari keluarga tidak mampu,
mencoba pendekatan kepada ibunya, ”Ibu, mau ada bar di bale banjar,
bolehkah saya dapat kain dan kebaya baru?” Mudah ditebak, jawaban ibunya pasti
mirip dengan pil pahit. Namun, dengan seribu satu bujuk rayu akhirnya Ayu
berhasil juga memperoleh sejumlah uang untuk membeli minimal kebaya baru.
Sebaliknya, Ari dengan mudah memperoleh uang dari ayahnya dalam jumlah cukup
buat mendapatkan kain dan kebaya bagus. Kebetulan Ari lahir dalam keluarga
berekonomi mampu.
Tiba di bar bale
banjar pada hari pertama pembukaan, Ayu dan Ari saling bertegur sapa dan
berbagi ceritera-cerita ringan, karena mereka memang berteman baik satu sama
lain. Kain dan kebaya Ari menjadi sorotan kagum kawan-kawannya. Selang beberapa
waktu, tiba-tiba timbul perasaan tidak enak pada diri Ayu. Ada apa gerangan?
Rupanya, kain dan kebaya indah yang dikenakan Ari telah berfungsi sebagai
pemicu (trigger) imprint di benak Ayu, sehingga berputarlah
kembali rekaman lama, "Punya-ku lebih baik, boneka-ku lebih
cantik".
Rekaman itu
berputar berulang-ulang di luar kesadaran diri Ayu, namun bertentangan dengan
kenyataan bahwa kain dan kebaya Ayu sangat sederhana dibanding punya Ari. Rasa
tidak enak ini, lagi-lagi tanpa disadari, kemudian berkembang menjadi perasaan
iri-hati, bahkan lebih jauh bisa berkembang menjadi rasa dengki—disebut
dengan istilah matsarya, salah satu sadripu
(enam kegelapan pikiran), sebagai musuh utama yang ada dalam diri manusia.
Oleh karena
setiap orang—termasuk Anda dan saya—punya rekaman, "Punya-ku lebih
baik, dan boneka-ku lebih cantik" maka pada dasarnya setiap orang
mempunyai bibit perasaan iri-hati dan perasaan dengki. Cobalah mengingat
kembali berbagai peristiwa di masa lalu, ketika teman-teman yang rasanya
kualitas, kecerdasan, dan kinerjanya jauh di bawah Anda tetapi mereka lebih
dulu naik pangkat atau jabatan, mendapat berbagai berkah dalam kehidupan.
Reaksi perasaan apakah yang mungkin bergejolak di hati Anda? Apakah Anda akan
berbisik pelan, “Sahabat, aku turut bergembira dan berbahagia atas
keberhasilanmu”? Bisa jadi—karena inilah ideal yang dianjurkan, yang kemudian
kita gunakan sebagai pemanis di bibir. Ataukah timbul perasaan tidak enak?
Lebih mungkin, karena inilah reaksi yang lebih jujur dan bersifat manusiawi.
Permainan Ego
ini terjadi di mana-mana: dalam keluarga, di kantor-kantor, di tetangga, di
banjar, di dunia politik, di institusi DPR, dan lain sebagainya. Ini terjadi
pada konflik berebut jabatan, pada konflik berebut fasilitas, pada konflik
berebut lahan bisnis, konflik berebut harta warisan, konflik berebut pengaruh,
konflik antardesa, bahkan sampai konflik bernuansa SARA. Semua dilandasi
tuntutan ego dan dorongan untuk memutar kembali lagu lama, “Punya-ku lebih
baik, boneka-ku lebih cantik”. Sungguh menyedihkan dan memprihatinkan.
Kecenderungan
permainan ego semacam ini masih diperparah oleh persaingan yang berjalan
semakin ketat. Di sekolah-sekolah anak-anak berlomba atau dipaksa secara tanpa
sadar untuk meraih ranking tertinggi, agar batinnya, atau batin orang-tuanya
dan kakek neneknya, menjadi tenteram ketika dapat melantunkan lagu, “Punya-ku
lebih baik, bahkan yang terbaik.” Ada banyak orang-tua yang tidak merasa
tenteram sebelum anak-anaknya berhasil diterima di sekolah-sekolah favorit,
kelas-kelas percepatan, dan lain sebagainya. Anak-anak kecil yang mestinya
tumbuh dalam kehidupan bermain, dijejali dengan berbagai macam les, termasuk
les bahasa Inggris. Inilah barangkali bias tuntutan kewajiban
orangtua untuk membentuk anak-anak suputra, yang hampir pasti, tanpa
mereka sadari.
Di dunia bisnis
juga terjadi persaingan, bahkan lebih keras dengan berlangsungnya perang tarif,
perang bonus, dan lain sebagainya yang ujung-ujungnya merugikan semua pihak.
Rupa-rupanya, dunia sedang terperangkap dalam lomba lari massal di mana-mana,
tanpa henti. Setiap orang merasa perlu ikut berlari, karena mereka tidak mau
ketinggalan dalam persaingan menjalani kehidupan.
Kabar buruknya:
mereka semata-mata terperangkap dalam sebuah fenomena kehidupan serba berlari.
“Hai, rupanya Anda juga ada dalam kerumunan lomba berlari, mengapa Anda mesti
ikut?”
“Karena aku
tidak mau ketinggalan, kalau aku tidak ikut berlari.”
“Ya, masuk
akal, tapi ke mana tujuan Anda berlari?”
Sungguh memprihatinkan
ketika mereka menjawab lugu, “Ya, ke mana, ya?”
Bagaimana
dengan dunia olah raga yang menjadi ajang menumbuhkan sportivitas? Ukuran kalah
menang yang obsesif, sedikit banyak memberi andil sebagai penghalang win-win
approach. Kita banyak melihat tawuran antarpemain atau pengeroyokan seorang
wasit pertandingan sepak bola, ketika ada pihak yang merasa tidak puas dan
memilih kekerasan sebagai cara mengatasi permasalahan, ketika ego benar-benar
sudah tidak terkendali. Jadi, pikiran ego itu penyebab utama timbulnya
konflik.
Dengan uraian
tadi sedikit banyak kita paham bagaimana benih rekaman ego di dalam pikiran
bawah sadar terbentuk. Ego berlebihan pada diri orang lain dapat membuat
perasaan kita menjadi kesal, bahkan membangunkan amarah yang ada dalam arsip
rekaman bawah sadar. Ego pada diri sendiri, yang umumnya bekerja tanpa
disadari, dapat mendorong seseorang menjadi arogan. Tantangannya adalah
bagaimana membangun tata pikir baru, yang bisa mengubah perasaan kesal dan
amarah menjadi welas asih, yang bisa mengubah arogansi menjadi perasaan malu,
akan kita bahas dalam kesempatan berikutnya.
Lembaga
Pengembangan Citra Diri, Jalan Suli
No. 56 Denpasar 80233
RELAKSASI ALA LPCD
RELAKSASI
ALA Dr. TRISNA
Oleh Dr. N.
Sutrisna Widjaya, MPH *)
Relaksasi
sangat bermanfaat karena pada kondisi tersebut otak dan/atau pikiran bekerja
dengan jauh lebih efektif. Pada kondisi ini pikiran tidak lagi bersifat liar,
berseliweran ke sana ke mari, berbenturan satu sama lain, mengalami tekanan
dari sisa-sisa rekaman pengalaman buruk di masa lalu, atau pun tekanan akibat
kecemasan tentang apa yang mungkin terjadi di masa yang terbayang di depan.
Relaksasi
merupakan kegiatan pada ranah otak kanan. Oleh karenanya banyak yang bersikap
skeptis terhadap relaksasi disebabkan oleh lebih banyaknya prosentase pengguna
otak kiri, yang selalu menuntut penjelasan akal sehat terhadap apapun.
Sebagai sesuatu yang bekerja pada ranah otak kanan – seperti pada spiritualitas
misalnya – pembelajaran relaksasi akan mengikuti kaidah “Dipahami dan
dirasakan, bila sudah mengalaminya”. Dengan demikian, tantangan dalam
mengembangkan teknik dan metode relaksasi mencakup dua syarat yakni: 1. Berisi
penjelasan2 yang masuk akal, dan 2. dirasakan dalam waktu relatif singkat,
sebelum pikiran2 skeptis men-domonasi. Penggunaan imajinasi (imaji-in, atau
gambaran yang masuk/ada di dalam benak pikiran) sangat membantu karena, seperti
pernah dinyatakan Einstein, imajinasi lebih hebat dari pada pengetahuan karena,
pengetahuan itu ada batasnya sementara imajinasi bersifat tidak terbatas.
Latihan imajnasi bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan2 aneh seperti,
bagaimana rasanya kalau anda punya sayap dan bisa terbang ? Bagaimana rasanya kalau
anda punya uang dalam jumlah tak terbatas ? Bagaimana rasanya kalau anda punya
mata tiga biji, bukannya cuma dua? Dengan pertanyaan2 tersebut, gambaran2
tertentu (image/imaji) akan masuk atau berkembang di dalam benak pikiran anda.
Upaya memahami
relaksasi bisa dimulai dari konsep mind-body, di mana tubuh fisik
berhubungan dalam keadaan selaras atau serasi dengan pikiran yang ada di benak.
Bayangkan seseorang dalam keadaan tenteram dan damai, maka kita melihat otot2
tubuh fisiknya dalam keadaan rileks atau santai. Bayangkan seseorang dengan
amarah menggelegak, maka kita melihat otot2nya tegang, tangannya mengepal dan
matanya mendelik. Mind-body selalu terhubung dan selaras. Bila salah
satu dikendalikan, maka yang lain ikut terkendalikan. Kemudian ada pertanyaan,
yang manakah lebih mudah dikendalikan ? Ternyata tubuh fisik. Di sini kita tahu
ada kekeliruan dalam upaya mengendalikan pikiran dengan mengendalikan yang ada
di benak. Sekarang kita koreksi, ambillah yang lebih mudah, cukup lemaskan
otot2 disekujur tubuh anda, maka pikiran pun berubah menjadi lebih cool.
Nah sekarang kita akan membahas tehnik relaksasi sederhana yang cukup efektif.
Pernahkah anda
melihat perahu karet yang mesti ditiup atau dipompa terlebih dulu sebelum
digunakan ? Tentu pernah. Apakah yang terjadi bila sumbatnya dibuka ? ………..
Anginnya keluar, zzzzzzzsssss, dan iapun menjadi kempis. Bisakah anda
membayangkan diri sebagai boneka yang terbuat dari karet, sudah dipompa dan
bentuknya persis seperti anda ? Apakah yang terjadi bila sumbatnya dibuka ?
………… Anginnya juga keluar, zzzzzzssss, dan boneka (saya) ini pun menjadi kempis
juga. Nah, sekarang coba ambil posisi duduk tegak tapi rileks. Lakukan simulasi
tadi ……. bayangkan diri anda sebagai boneka yang terbuat dari karet, sduah dipompa.
Buka sumbatnya, …….. anginnya pun keluar, zzzzzssssssss. Anda melihat dengan
mata pikiran bahwa (boneka) diri anda menjadi kempis ..…… Rasakan suatu
perubahan, ke arah manakah pikran anda cenderung berubah ? ………Ternyata ke arah
TENTERAM dan DAMAI. Ahaaaaaa, ……… sekarang anda telah menguasai dan telah
benar2 menguasai yang namanya teknik relaksasi. Congratulation !!!
. Ditulis dan dibagikan kembali oleh Dewa Ayu
Eka P Dharmatari,M.Psi.,Psikolog (Clinical Psychologist) sebagai bentuk penghormatan kepada Almarhum
Dr.Sutrisna Widjaya,MPH selaku Guru terbaik kehidupan yang telah menjadi
pembimbing selama ini.
PERSAHABATAN ANTARA MONYET & IKAN
PERSAHABATAN
ANTARA MONYET & IKAN
Dr. N. Sutrisna
Widjaya, MPH
Seekor monyet
bersahabat karib dengan seekor ikan, yang hidup di sebuah sungai. Tentu monyet
berada di dahan-dahan pohon di sepanjang tepi sungai.
Setiap hari
mereka bercengkerama, berbagi pengalaman dan berbagi rasa sebagaimana umumnya
dua orang yang bersahabat karib.
Pagi-pagi monyet memberi salam kepada ikan: "Selamat pagi ikan sahabatku,
apa khabar ? Apakah semalam engkau tidur nyenyak ?"
Sang ikan
menjawab dengan hangat: "Aku baik nyet, sebaliknya engkau bagaimana
?".
Demikianlah
mereka menjalani hari-hari dan hidup mereka dalam persahabatan yang akrab dari
waktu ke waktu.
Pada suatu hari
terjadi hujan lebat berkepanjangan. Air hujan bak dicurahkan dari langit.
Monyet berteduh di bawah pelepah pinang yang nyangkut di antara dahan-dahan,
sembari meperhatikan ikan, sahabat kentalnya. Air sungai mulai meluap disertai
gelombang yang makin membesar, membuat ikan terombang-ambing, terdorong ke kiri
dan ke kanan, terhempas pada batu-batu sungai maupun batu padas pada
tepian sungai.
Monyet menjadi
sangat khawatir dengan nasib sang ikan. Ia berteriak meminta pertolongan:
"Tolong……..tolong……ikan sahabat saya dalam bahaya !".
Ia berteriak
berulang-ulang namun tak ada seorangpun yang mendengarnya, teriakan itu
tenggelam dalam derasnya bunyi hujan.
Dalam keadaan
panik, monyet teringat nasihat orang-tuanya: "Kamu, bego ! Teriak melulu,
tolol ! Ambil kek tindakan apa saja untuk menolong sahabat kamu itu. Jangan
cuma teriak melulu".
Terdorong
nasihat orang-tuanya sang monyet melompat ke air, mengangkat ikan sahabatnya
dari bahaya banjir.
Benarkah sang
ikan selamat berkat pertolongan monyet tersebut ?
Ditulis dan dibagikan kembali oleh Dewa Ayu Eka P
Dharmatari,M.Psi.,Psikolog (Clinical Psychologist) sebagai bentuk penghormatan kepada Almarhum
Dr.Sutrisna Widjaya,MPH selaku Guru terbaik kehidupan yang telah menjadi
pembimbing selama ini.
Langganan:
Postingan (Atom)
PENGENDALIAN PIKIRAN ( MIND CONTROL ) Oleh ; Dr. N. Sutrisna Widjaya, MPH *) Sebagaimana meditasi pada umumnya, manfaat dari pene...
-
PSIKOEDUKASI KESEHATAN MENTAL SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF UNTUK MEWUJUDKAN KESEHATAN HOLISTIK MASYARAKAT DI DUKUH BONGSREN, DESA GILAN...
-
RELAKSASI ALA Dr. TRISNA Oleh Dr. N. Sutrisna Widjaya, MPH *) Relaksasi sangat bermanfaat karena pada kondisi tersebut otak dan/a...